skip to main |
skip to sidebar
Sebuah teori mengungkap, seks adalah sebuah refleksi otomatis, kecuali emosi Anda dapat digantikan. (Foto: admin enzo)
PARA ilmuwan mulai memahami bagaimana dorongan seks dapat dipengaruhi neurotransmitter (bahan kimia di dalam otak) tertentu, terutama dengan melihat reaksi kita terhadap obat-obatan yang dimaksudkan untuk merawat kondisi lainnya.
Contoh paling jelas adalah apa yang terjadi pada banyak pasien yang mengonsumsi Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI), sebuah jenis antidepresan yang bisa mematikan libido. Penambahan dosis SSRI akan meningkatkan serotonin pada neurotransmitter yang dapat membantu mengatur suasana hati. Akan tetapi, obat ini juga dapat meredam dorongan seksual.
Lalu ada obat lain, seperti Mirapex (diresepkan untuk gejala penyakit kaki gelisah) dan Requip (untuk pasien penyakit Parkinson), yang memengaruhi tingkat dopamin pada neurotransmitter. Orang yang mengonsumsi obat-obatan tersebut sering memiliki efek samping berupa dorongan seks berlebihan. Demikian okezone kutip dari Health, Selasa (20/4/2010)
Reaksi obat ini menunjukkan kepada kita bahwa sebagian dorongan seksual pria merupakan hasil dari fungsi kimia tubuh. Namun, emosi ternyata juga memiliki peranan penting dalam gairah seks. Sebuah teori mengungkap, seks adalah sebuah refleksi otomatis, kecuali emosi Anda dapat digantikan.
Tes reflek klasik yang dilakukan banyak dokter dengan memukul tendon di lutut menggunakan palu, bisa jadi contoh kasus.
”Misalkan, dokter sedang melakukan tes ini, lalu di luar ada perampokan dengan tembakan. Otak Anda akan menggantikan refleks, sedangkan kaki Anda akan tetap tinggal," kata Irwin Goldstein MD, Direktur San Diego Sexual Medicine dan Pemimpin Redaksi The Journal of Sexual Medicine.
Dr Goldstein menyarankan Anda untuk mempertimbangkan refleks seksual. "Kamu meraba tubuh orang lain saat berada di lantai dansa, dan Anda akan merasa bergairah, bukan? Dan kalau tidak, otak Anda dapat menghambat respons dan Anda tidak akan tertarik,” kata Dr Goldstein.